Pernahkan kamu mendengar cerita tentang hasil ujian yang tertukar?
Jadi ketika itu, hasil ujian kelas unggulan dan kelas biasa tertukar. Anak kelas biasa mendapat nilai tinggi, sedangkan anak kelas unggulan yang notebene-nya adalah anak pintar dan cerdas memiliki nilai yang kecil. Dari kejadian itu, pembelajaran oleh guru tetap berjalan seperti biasanya. Tapi, anak-anak memiliki kepercayaan yang berubah. Anak kelas biasa percaya bahwa mereka bisa mengerjakan soal-soal ujian, sedangkan anak kelas unggulan percaya bahwa mereka tidak cukup pintar. Tentu hal tersebut berpengaruh dalam proses pembelajaran setiap anak. Anehnya, setelah dilakukan ujian lanjutan, hasil ujian kelas biasa naik dari biasanya, sedangkan anak unggulan menurun nilainya.
Ternyata, hasil ujian awal yang tertukar, berpengaruh pada kepercayaan diri anak-anak dan mindset mereka akan diri mereka sendiri.
Saya benar-benar memiliki pengalaman yang mirip. Ketika di sekolah dasar, saya adalah anak termuda. Menjadi anak paling kecil tentu agak berat karena dikenal tidak berdaya sehingga selalu jadi sasaran kenakalan bocah-bocah. Saya juga memiliki nilai yang kecil dan tidak pernah dilibatkan dalam kegiatan apapun, dan ya seperti itulah kehidupan suram SD. Saya menjadi tidak percaya diri dan tidak berprestasi.
Lalu, ketika SMP saya hanya masuk di sekolah swasta di desa yang agaknya kurang bagus. Namun, karena saya lulusan sekolah favorit, tentu saya sedikit lebih unggul dari teman-teman saya yang dari SD. Jadi nilai saya lebih tinggi dari teman lainnya dan guru-guru mulai melihat saya. Saya mulai diberi kesempatan untuk terlibat di beberapa kegiatan. Dari situ, saya menjadi lebih rajin, ketika kenaikan kelas saya masuk 3 besar dan menjadi salah satu lulusan terbaik di angkatan. Padahal jika dibandingkan dengan anak SMP lain, saya rata-rata sekali.
Kemudian, saya mendaftar di SMA favorit, pembagian kelas berdasarkan nilai NEM kami, dan saya masuk kelas ke 5 dari 10 kelas. Tuh kan, rata-rata banget. Namun karena saya sudah bahagia belajar dan memiliki mindset bahwa ternyata saya bisa mengerjakan soal-soal sekolah jadi saya juga memiliki prestasi yang lumayan, saya juga termasuk siswa yang aktif. Hal semacam itu berlanjut hingga kuliah sampai saya bisa menjadi Mahasiswa Berprestasi Utama Fakultas, dan Mahasiswa Berprestasi 3 di tingkat Universitas. Padahal dulu waktu SD, saya bodoh.
Saya baru menyadari bahwa itu semua adalah kekuatan mindset yang mengubah diri kita menjadi semangat. Lalu labelling dari orang lain yang memberikan cap bahwa kita adalah anak yang rajin, pintar, baik dan seterusnya. Juga usaha kita mempertahankan citra diri yang baik sehingga menjaga tindakan dan perilaku kita selama hidup. Saya menyadari bahwa ketiga hal itu sangat berpengaruh dalam hidup kita.
Beberapa orang bilang bahwa saya orang baik. Apakah saya benar-benar orang baik? saya merasa selama ini hanya pura-pura menjadi orang baik hingga mendapat label orang baik. Lalu saya tetap menjaga citra saya dengan tetap melakukan hal baik. Tanpa dipungkiri, adanya labelling dan citra diri itu berdampak baik bagi diri kita. Tentu saja hal itu juga membuat pikiran dan mindset kita menjadi lebih positif.
Lalu bagaimana dengan orang-orang yang sudah terlanjur mendapat label dan citra diri yang buruk? Bagi saya tentu hal itu bisa diubah. Jika kita memiliki kepercayaan diri dan komitmen untuk menjadi lebih baik maka pasti bisa. Saya percaya bahwa semua hal bisa dilatih. Mungkin kamu bisa pura-pura baik. Pura-pura hingga menjadi kebiasaan, lalu melekat dalam diri kamu.
Bagaimanapun juga, semangat membangun citra diri terbaikmu. Menjadi jahat dan buruk sungguh tidak ada gunanya. Kamu akan kesulitan dalam banyak hal dan tentu dalam masa depanmu.
Jadi, mari kita tanamkan mindset yang baik hingga muncul labelling baik pada diri kita, hingga hal itu melekat dan menjadi citra diri.