Saya Afifah Dwi Lestari, perempuan yang lahir di Pemalang, 23 April 1999. Saya lulusan S1 Ilmu Kesejahteraan Sosial Universitas Jember. Kini, saya mulai bekerja di Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi sebagai Staf Biro Hubungan Masyarakat. Saya tergabung dalam tim bahan yang bertugas menyiapkan bahan paparan ataupun sambutan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi yaitu Dr. (HC) Drs. Abdul Halim Iskandar, M.Pd. Sebelumnya, selama mengerjakan skripsi, saya juga bekerja di Yayasan STAPA Center sebagai pendamping lapangan yang menangani masalah pekerja anak di pertanian tembakau di Jember. Saya melakukan pendampingan terhadap petani dan buruh tani serta keluarganya untuk memberikan pendidikan keterampilan hidup melalui program Rumah Kreasi. Saya juga terlibat dalam pengorganisasian pemuda desa yang potensial sebagai relawan Rumah Kreasi.
Selama kuliah, saya banyak mengkaji isu perlindungan anak, pemberdayaan masyarakat desa, isu-isu sosial dan pendidikan. Saya banyak berkegiatan dalam organisasi sosial dan menulis esai mengenai isu tersebut. Namun, ketika bekerja di STAPA Center saya menyadari bahwa masalah yang ada di masyarakat jauh lebih kompleks daripada yang saya pelajari di bangku kuliah, organisasi maupun buku-buku yang saya baca. Saya mendampingi Desa Sumberkalong dengan berbagai program namun dengan waktu terbatas. Disitu saya banyak belajar tentang pengelolaan pemerintahan desa, dan masyarakat desa. Saya juga belajar mengenai program dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Terlebih lagi, kini saya bekerja di Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, sehingga saya banyak mengkaji isu tentang desa, daerah tertinggal dan transmigrasi.
Berbicara mengenai isu desa, kedudukan desa kini memiliki peran strategis dalam pembangunan nasional. Hal itu dituangkan dalam UU No 6 Tahun 2012 tentang Desa yang menyatakan desa tidak lagi menjadi objek pembangunan, kini desa menjadi subjek dan ujung tombak pembangunan. Hal itu menggeser paradigma “pembangunan desa” menjadi “desa membangun. Sehingga kini, Desa mempunyai wewenang sendiri untuk mengatur pembangunan di wilayahnya. Namun, selama ini perkembangan pembangunan desa tidak signifikan. Padahal alokasi anggaran dana desa pada 2021 sebesar 72 Triliun. Jumlah tersebut tentu sudah lebih dari cukup untuk meningkatkan pembangunan desa, sehingga dana bukanlah masalah utama dalam percepatan pembangunan desa.
Masalahnya adalah desa masih fokus pada pembangunan fisik tanpa dibarengi dengan pembangunan sosial. Selain itu, pembangunan desa tidak bersifat partisipatif sehingga hanya menyasar pada kelompok masyarakat tertentu. Mayoritas pemerintah desa memiliki perspektif pembangunan masyarakat yang keliru. Hal ini bisa dilihat dari fokus dana desa untuk pembangunan fisik, sedangkan ruang pembangunan sosial seperti BUMDes, masih belum memiliki kegiatan. Pernah suatu ketika, di desa dampingan saya, masyarakat mendapat pelatihan membuat susu kedelai. Padahal di desa itu tidak ada potensi kedelai sama sekali. Selain itu, yang dilatih adalah ibu-ibu PKK yang mayoritas adalah golongan masyarakat menengah ke atas. Jika hal-hal semacam itu terus dilakukan, maka kita hanya membuang anggaran, tenaga, dan waktu. Semua itu muspro karena tidak dibarengi dengan assessment masalah, kebutuhan dan potensi yang ada di desa. Terbukti bahwa kegiatan tersebut hanya berhenti pada pelatihan saja, karena memang sumber daya kedelainya tidak ada sehingga tidak bisa dilanjutkan. Sasaran kegiatan juga tidak tepat, masyarakat menengah kebawah tidak mendapat akses untuk mengikuti pelatihan. Padahal mereka yang lebih butuh diberdayakan daripada masyarakat kalangan menengah ke atas.
Hal tersebut membuat saya fokus terhadap masyarakat rentan yang membutuhkan pelayanan dan perlindungan khusus. Mereka adalah kelompok marjinal yang kerap kali terlupakan serta terhambat dalam mengakses pembangunan desa, seperti anak-anak, perempuan rentan sosial ekonomi, kaum lansia, maupun penyandang disabilitas. Mereka seharusnya mendapat perhatian khusus dari pemerintah, khususnya ruang untuk berpartisipasi dan bersuara dalam pembangunan desa. Maka dari itu, perlu untuk dicanangkan pembangunan inklusif. Pembangunan inklusif merupakan pendekatan yang diperkenalkan sebagai bentuk “reaksi” atas pembangunan yang menekankan kepada pertumbuhan dan meninggalkan kelompok marjinal. Pendekatan ini digaungkan sebagai upaya memeratakan pembangunan dan tidak semata kepada kelompok-kelompok eksklusif semata. Model ini adalah model pembangunan sosial yang paling mutakhir karena bersifat holistik dan meletakkan manusia sebagai subjek pembangunan. Tujuan dari pembangunan inklusif untuk membangun kualitas kehidupan sosial budaya (social cultural quality of life), dan komponen yang dapat dipergunakan untuk menganalisis kualitas kehidupan sosial budaya antara lain struktur sosial, kultur, dan proses sosial.
Model pembangunan ini membutuhkan peran interdisipliner untuk menyelesaikan masalah pembangunan desa. Maka dari itu, untuk melaksanakan pembangunan inklusif ini membutuhkan sinergitas seluruh komponen pentahelix (pemerintah, akademisi, media, swasta, dan masyarakat) dalam pembangunan desa yang melibatkan seluruh masyarakat. Pemerintah berperan sebagai pengambil kebijakan, sedangkan akademisi mempunyai peran penting dalam pemberian sosialisasi, pendampingan, dan pemberdayaan terhadap masyarakat. Selain itu, peranan media dan swasta atau pelaku usaha juga tak kalah penting. Misalnya, berperan dalam pengembangan potensi desa yang bertujuan dalam pembangunan ekonomi daerah dan pemberdayaan masyarakat rentan. Di sisi lain, upaya pemberian modal usaha dari subjek swasta serta kontrol kebijakan dari peranan media begitu penting terkait penyebaran informasi dan promosi sehingga masyarakat rentan dapat mengakses pembangunan, terutama di sektor ekonomi. Kunci utama pembangunan inklusif adalah partisipasi. Sehingga peran masyarakat disini sangat penting sebagai subjek dan objek pembangunan.
Ilmu Kesejahteraan Sosial adalah salah satu ilmu penting yang berguna untuk menyelesaikan masalah tersebut. Ilmu Kesejahteraan Sosial adalah ilmu terapan yang mempelajari metode pertolongan atau intervensi dalam peningkatan fungsi sosial, baik di level individu, komunitas, maupun masyarakat. Sasaran ilmu ini adalah Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS), salah satunya adalah kelompok masyarakat rentan yang belum atau terhambat dalam memperoleh hak-haknya. Sebagai Ilmu Terapan, Ilmu Kesejahteraan Sosial juga belajar mengenai praktik dan nilai. Sehingga dalam melakukan intervensi kepada kelompok masyarakat juga berbasis nilai dan etika. Ruang lingkup lingkup Ilmu Kesejahteraan Sosial terbagi tiga, yaitu mikro, mezzo, dan makro. Pada jenjang studi S-1, pembelajaran cukup dominan terhadap level praktik dengan metode pembelajaran praktik lapang. Misalnya di UNEJ, mahasiswa praktik pemberdayaan masyarakat desa di level mikro dan mezzo. Sehingga kemampuan intervensi di level kebijakan masih begitu minim dan perlu pengembangan. Untuk itu, saya ingin melanjutkan studi pada Program Pascasarjana Ilmu Kesejahteraan Sosial berfokus terhadap kebijakan sosial dengan peminatan Pembangunan Sosial, Kebijakan Sosial, dan Otonomi Lokal; seperti yang diterapkan di Universitas Indonesia.
Ilmu-ilmu pembangunan kesejahteraan sosial sangat berguna dalam pengembangan program pembangunan sosial dan kemanusiaan, baik di level daerah maupun nasional. Sehingga, ilmu ini begitu penting untuk dimiliki oleh stakeholder agar perumusan kebijakan baik dari perencanaan hingga evaluasi menjadi lebih masif dan efektif karena menerapkan metode dan prinsip Ilmu Kesejahteraan Sosial. Beberapa mata kuliah yang akan dipelajari pada S-2 Ilmu Kesejahteraan Sosial adalah Kesejahteraan Sosial dan Pembangunan yang bertujuan untuk peningkatan pemahaman mahasiswa terkait pembangunan sosial, sistem kesejahteraan sosial, serta intervensi sosial dan HAM. Selain itu, Analisis Kebijakan dan Perencanaan Sosial juga mempelajari konsep tahapan perencanaan kebijakan yang didasarkan atas asesmen permasalahan, kebutuhan, dan potensi yang dimiliki oleh kelompok sasaran.
Mata kuliah lainnya adalah teknik perencanaan program pembangunan sosial dan etika pembangunan. Sehingga, lulusan Ilmu Kesejahteraan Sosial terbekali dengan berbagai dasar nilai dalam melakukan praktik intervensi terhadap kelompok masyarakat. Bekal tersebut membantu meningkatkan pemahaman saya nantinya terkait makna tujuan keadilan, pemerataan, dan kesejahteraan sosial. Selain itu, sebagai mahasiswa, saya pun belajar melalui praktik evaluasi program pembangunan dan kunjungan lapangan sehingga saya berpeluang kuat dalam pengembangan SDM yang peka terkait upaya penyelesaian masalah kelompok sasaran, khususnya kelompok rentan yang membutuhkan perlindungan khusus.
Bagi saya, sinergitas pentahelix dalam upaya pembangunan inklusif akan menciptakan keadaan berbagai desa di Indonesia menjadi lebih baik, khususnya dalam segi pelayanan dasar. Selanjutnya, kebijakan yang dibuat bukan hanya produk politik yang sarat akan kepentingan, melainkan juga memperhatikan kelompok rentan yang hak-haknya perlu dilindungi secara khusus. Desa dan perdesaan di Indonesia akan menjadi ramah dan kondusif bagi perkembangan anak-anak sehingga generasi penerus bangsa menjadi lebih baik lagi. Selain itu, kesejahteraan kaum lansia akan meningkat melalui pelayanan yang maksimal. Perempuan dan kaum disabilitas yang berperan dalam pembangunan juga berpeluang terhadap akses ekonomi desa, bahkan mampu memanfaatkan dan mengembangkan potensi lokal desa sehingga perekonomian daerah dapat meningkat.
Saya berharap di masa depan, analis dan perencana kebijakan di Indonesia akan diisi oleh orang-orang yang ahli bidangnya. Sehingga SDM yang berkompeten akan mendapat akses dalam menyalurkan pengetahuannya. Saya berharap, lulusan Ilmu Kesejahteraan Sosial mampu menempati posisi strategis dalam penanganan masalah sosial di Indonesia, karena kami memiliki pengetahuan, keterampilan dan nilai dalam pemecahan masalah sosial. Misalnya, pada saat ini, masyarakat kerap kali berasumsi bahwa masalah sosial dapat diatasi oleh siapa saja, tidak seperti masalah kesehatan yang ditangani ahlinya. Sehingga berdampak pada posisi jabatan seperti Menteri Sosial selama ini dijabat oleh politisi. Padahal masalah sosial yang kompleks membutuhkan metode penanganan khusus, tentunya harus ditangani oleh orang yang memiliki pengetahuan, memiliki keterampilan, dan memiliki nilai di bidang sosial.
Saya ingin berperan di bidang akademisi yang juga berkontribusi sebagai analis kebijakan. Hal ini karena dosen memiliki peran strategis dan ruang untuk menyalurkan gagasan dan mempunyai akses pada pemerintahan, sehingga akan mempermudah saya untuk berkontribusi dalam kebijakan sosial secara teknokratik. Saya ingin menjadi Dosen Ilmu Kesejahteraan Sosial yang menjalankan Tri Dharma perguruan tinggi secara maksimal. Saya ingin memberikan sosialisasi, pendampingan dan meningkatkan kapasitas masyarakat khususnya kelompok masyarakat rentan mampu berpartisipasi dalam pembangunan inklusif. Saya ingin mencetak generasi yang kompeten untuk mengisi setiap ranah di tiap pentahelix agar dapat bersama-sama membantu dalam peningkatan pelayanan terhadap masyarakat dan mempercepat pembangunan Indonesia, khususnya di level daerah. Saya juga ingin membangun sekolah informal yang berfokus terhadap pengembangan keterampilan hidup atau pendidikan karakter bagi anak-anak yang kesulitan mengakses hal tersebut, dan juga kelompok masyarakat yang membutuhkan intervensi. Itu juga dapat dijadikan sebagai wadah bagi mahasiswa saya untuk mempraktikkan ilmunya.
Maka dari itu, saya akan melibatkan berbagai mahasiswa agar lebih cakap dan siap mengabdi di masyarakat. Saya akan berupaya untuk memperkaya literasi di bidang Ilmu Kesejahteraan Sosial khususnya di ranah kebijakan karena di Indonesia masih begitu minim. Sehingga saya harus melakukan penelitian dan menerbitkan buku-buku tentang Ilmu Kesejahteraan Sosial. Selain itu, saya juga ingin menjadi akademisi yang mampu berkontribusi dalam pembangunan daerah sehingga penerapan ilmu, kemampuan praktik, dan berbagai nilai yang dimiliki dapat terus saya lakukan. Oleh karena itu, saya ingin terlibat dan berperan khususnya sebagai analis kebijakan untuk meningkatkan pembangunan daerah, perlindungan hak asasi masyarakat rentan, dan peningkatan pemerataan daerah di Indonesia.
Berdasarkan hal itu, salah satu upaya saya dalam mewujudkan mimpi tersebut adalah belajar melalui jenjang studi lanjutan, yaitu Program Studi Magister Ilmu Kesejahteraan Sosial dengan fokus peminatan Pembangunan Sosial, Kebijakan Sosial, dan Otonomi Lokal. Saya akan mengambil 41 SKS, yang terbagi dalam mata kuliah wajib dan peminatan. Saya akan selesaikan kuliah saya selama 3 semester dan fokus mengerjakan tesis pada semester 4. Dalam perencanaan saya, topik tesis yang akan saya angkat adalah tentang pembangunan desa inklusif di Indonesia. Saya ingin menemukan metode dan teknik yang tepat dalam membangun desa inklusif sehingga dapat diterapkan di berbagai desa di Indonesia. Dalam rencana studi, saya akan melakukan berbagai penelitian sehingga pengerjaan tesis akan menjadi lebih mudah. Saya juga akan mengikuti berbagai komunitas sosial, khususnya yang bergerak dalam pengkajian isu-isu desa dan perdesaan serta perlindungan anak dan perempuan. Hal tersebut bertujuan agar kemampuan saya terkait kepekaan sosial dan kemampuan praktik dapat terasah. Saya juga akan mencari jejaring agar mampu terlibat dalam isu-isu kebijakan sosial sehingga akan mempermudah perjalanan pengabdian saya sebagai dosen dan upaya penerapan Tri Dharma terhadap perguruan tinggi. Selain itu, rencana kontribusi saya terkait partisipasi dalam pertimbangan kebijakan secara teknokratik dapat berjalan sebagaimana mestinya.